Selasa, 12 April 2011

Teguh Satria: Kebijakan Perumahan Tidak Didukung Menkeu



         Kebijakan perumahan yang diluncurkan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) saat ini tidak didukung oleh Menteri Keuangan.
 
“Kondisi ini sungguh sangat ironis. Di satu pihak, Kemenpera ingin menyediakan rumah murah melalui kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), namun di pihak lain kebijakan Menteri Keuangan tidak mendukung itu,” kata Teguh Satria, Ketua Umum DPP REI (2007-2010) dan President FIABCI Asia Pasifik (2011-2012) dalam percakapan dengan Kompas.com di sebuah hotel di kawasan Thamrin, Jakarta, Senin (11/4/11).

Teguh Satria memang blak-blakan bicara soal perumahan. Ia sudah makan asam garam di dunia perumahan. Lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah, 5 Juni 1953 ini mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Pati dan Salatiga, dan melanjutkan pendidikan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung tahun 1972.

Setelah lulus tahun 1978, Teguh sempat bekerja di perusahaan kontraktor selama satu tahun (1979). Lalu pada tahun 1980-1989, Teguh bekerja di perusahaan pengembang di Bandung, PT Margahayu Raya.

Tahun 1990 sampai sekarang, Teguh mendirikan perusahaan pengembang sendiri, yang menyasar pada perumahan menengah dan menengah bawah di Bandung, khususnya di daerah Bandung selatan, Banjaran, di bawah nama Sanggar Indah.

Teguh aktif di REI Jawa Barat sejak tahun 1985 ketika REI Jawa Barat dipimpin MS Hidayat, pemilik Putraco. Teguh juga pernah menjabat Wakil Sekretaris REI Jabar selama dua periode 1989-1992 dan 1992-1995. Teguh juga pernah menjabat Sekretaris REI Jabar 1995-1999, saat itu ketuanya Paskah Suzetta.
Lama berkecimpung di REI Jabar, akhirnya membuat Teguh Satria terpilih sebagai Ketua REI Jabar pada periode 1999-2002. Selain itu Teguh juga terpilih sebagai Wakil Ketua Umum DPP REI (2001-2004) saat DPP REI dipimpin Yan Mogi.

Aktivitas Teguh dalam DPP REI berlanjut. Tahun 2004-2007, Teguh menjabat Sekjen DPP REI, pada saat DPP REI dipimpin Lukman Purnomosidi. Pada periode berikutnya, 2007-2010, Teguh terpilih sebagai Ketua Umum DPP REI.

Teguh Satria juga aktif dalam FIABCI Asia Pasifik. Selama dua periode, pada tahun 2009-2011, Teguh menjabat Vice President FIABCI Asia Pasifik.

Dalam business meeting FIABCI di Brussels, Belgia, Desember 2010, Teguh Satria terpilih sebagai President FIABCI Asia Pasific 2011-2012.

“Tugas sebagai President FIABCI Asia Pasific, membangun networking antaranggota di kawasan Aspas. Dan mendorong supaya organisasi makin berkembang. Memang agak berbeda dibandingkan REI, Kalau REI buka peluang usaha di bidang peraturan,” kata Teguh.

Orang Indonesia yang pernah menjabat President FIABCI Asia Pasifik adalah Eric Samola, Ciputra, Pingky Pangestu, dan Teguh Satria, sedangkan yang pernah President FIABCI dunia adalah Ciputra dan Ferry Soeneville.

Berikut ini wawancara dengan Teguh Satria, mantan Ketua Umum DPP REI dan Presiden FIABCI kawasan Asia Pasifik oleh Robert Adhi Kusumaputra. Persoalan mendasar apa yang dihadapi pengembang REI saat ini? Persoalannya tidak sama setiap periode, berbeda-beda, Tetapi dihadapi para pengembang. Kalau bicara properti banyak. Tapi bicara perumahan, artinya problem menyediakan rumah menengah bawah, tetap jadi problem sampai sekarang.

Sebenarnya, akar masalahnya, bagamana mendudukkan persoalan bangsa. Tak bisa dibebankan pada REI atau pelaku perumahan. Penyediaan rumah bagi masyarakat. Sampai hari ini, problem ini masih ada, bukan bisnisnya tapi problem besarnya.

Saya melihat, filosofi memandang penyediaan rumah yang tidak tepat. Sepertinya seolah-olah dibebankan pada pelaku. Contohnya, ditanya kapan target dan kenapa tidak tercapai.
Padahal REI bukan yang bertanggung jawab. Sekarang tercermin dalam UU. Contohnya pasal UU Perkim (PKP), ada kewajiban pengembang menyediakan rumah berpenghasilan rendah Yang disebut hunian berimbang. Bagaimana pandangan parlemen, meninisiasi UU. Selama masih begini, sulit. Bukan berarti REI menghindar.
Seharusnya tidak seperti ini. Yang bertanggung jawab, semua pihak. Tapi bukan hanya pengembang. Mengapa pengembang dibebankan membangun hunian menengah bawah?

Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab dalam penyediaan rumah bagi rakyat? Semua pihak harus ikut bertanggung jawab dalam penyediaan rumah bagi masyarakat, khususnya menengah bawah. Dalam urusan pekerjaan, seharusnya para pemberi kerja juga bertanggung jawab, menyediakan rumah untuk pegawainya seperti dilakukan di Singapura. Dalam tabungan ini, ada sharing pekerja dan pemberi kerja. Filosofi seperti inilah yang sebenarnya harus dipakai.

Di Indonesia, ironisnya, pemerintah tidak memberi contoh. Ada Bapertarum PNS, tapi hanya one way traffic. Yang dipotong hanya PNS, dimasukkan ke tabungan perumahan. Seharusnya pemberi kerja PNS, pemerintah juga ikut sharing. Komposisinya terserah bisa 50:50, tapi ada kewajiban pemberi kerja, yang pada nantinya diwujudkan dalam penyediaaan perumahan.

Bagaimana dengan rumah untuk TNI dan Polri? Negara sharing juga dong. Pekerja swasta, juga sama. Sebagian gaji dipotong untuk tabungan perumahan, dan pemberi kerja juga diwajibkan bertanggung jawab. Jadi gotong royong semua pihak.

Menurut Anda, mengapa pemerintah seakan tidak peduli dengan persoalan perumahan rakyat? Ketidakpedulian itu tercermin dari kebijakan Menpera yang tidak sinkron dengan kebijakan menteri lain. Misalnya, Menpera membuat FLPP, mendukung masyarakat memiliki memiliki rumah dan bisa mengakses kredit sampai Rp 80 juta. Masalahnya, mengapa Menkeu mengeluarkan kebijakan bebas PPN hanya sampai rumah senilai Rp 70 juta?

Ada pengertian yang tidak sinkron. Dalam UU tercantum, pengembang harus membangun rumah minimal 36 m2. Tetapi Menkeu mengatakan, rumah bebas PPN itu maksimal tipe 36 m2. Jadi benar-benar tidak sinkron antarinstansi pemerintah sendiri. Ini tidak jelas. Jadi yang hanya bisa dibangun hanya rumah tipe 36 m2, tak bisa ke bawah dan ke atas.

Ketidakpedulian pemerintah dalam urusan perumahan lainnya terlihat jelas pada banyaknya rusunawa yang kosong. Ini akibat antarsektor dan antarinstansi tidak sinkron.

UU Perumahan dan Permukiman yang sudah disahkan, dan juga UU Rumah Susun yang sedang digodok adalah produk DPR. Apakah DPR tidak melibatkan para pengembang ketika menyusun UU ini? Para pengembang hingga kini mempertanyakan, mengapa seolah-olah dibebankan pada pengembang dengan kewajiban membangun.

Pertama, kalau pengembang besar diwajibkan bangun tipe rumah kecil, lalu pengembang kecil bangun apa? Di mana lahan pengembang kecil? Mana bisa pengembang kecil bersaing dengan pengembang besar?
Jadi ada kesan seolah-olah DPR ini hanya membebankan pengembang besar tapi tidak paham bahwa ini akan mematikan pengembang kecil.

Kedua, filosofi UU Perumahan dan Permukiman ini menakut-nakuti dengan ancaman pidana. Saya melihat, pidana kan ada yang mengatur? Mengapa urusan membangun rumah harus berakhir dengan pidana? Jika membangun rumah tidak sesuai, dipidana. Bupati salah mengeluarkan izin, sanksinya pidana. Seharusnya terbalik, orang yang menghambat membangun rumah itu lah yang harus dipidana, bukan pelaku pembangunan.
Jadi aneh sekali. Kalau bupati atau walikota tidak mengeluarkan IMB bagaimana? Apa yang terjadi? Jadi filosofinya ini terbalik-balik.

Dalam RUU Rumah Susun disebutkan pengembang harus membangun 20 persen dulu baru bisa menjual. Menurut Anda? Pengembang baru boleh menjual kalau sudah membangun 20 persen dari jumlah unit. Ini seperti bertanya, telur atau ayam? Untuk membangun rumah susun sederhana, ada persyaratan bank. Bank baru setuju memberi kredit kalau ada konsumennya.

Pengembang kan butuh uang untuk membangun? Tapi ketika minta kredit ke bank, bank bertanya pada pengembang, ada konsumennya nggak? Agar ada konsumen, pengembang kan harus menjual. Tapi agar bisa terjual, pengembang harus membangun. Dan agar bisa terbangun, butuh duit. Tapi kalau bank nggak ngasih kredit, bagaimana? Pengembang kecil mati.

Kami paham substansi UU itu agar masyarakat tidak tertipu. Tapi apakah para wakil rakyat yang membuat UU ini memikirkan dampaknya? Hanya pengembang yang kuat yang bisa membangun, sedangkan pengembang kecil harus pinjam dari bank.

Dalam draft UU Rusun, ada pasal yang mengatur, untuk menjual, harus ada garansi bank. Apa bisa bank beri garansi kepada developer bahwa ia akan membangun? Bagaimana mekanismenya?

Dalam draft UU Rusun, untuk melakukan PPJT, harus ada garansi bank atau asuransi. Beranikah bank kasih garansi bahwa Anda membangun? Bagaimana caranya asuransi? apa asuransi yang bayari konsumen? Mekanismenya sulit.

UU ini kok kesannya membatasi segala macam. Mengapa tidak diatur dalam aturan turunannya? PP atau Permen? Kan lebih fleksibel. kalau garansi bank bagaimana? Bank nggak mau gimana? Bisa berhenti semua. Kalau nggak laku bagaimana?

Pada pembahasan UU Perumahan dan Permukiman, setahu kami, DPP REI hanya dimintai pendapat satu kali, dan itu hanya saat awal dan kami tidak diberi draft UU. Kami hanya dimintai pendapat. Secara resmi, DPP REI sampaikan tertulis, hanya tidak diakomodir.

UU PKP dan UU Rusun semua hak inisiatif DPR, bukan Kemenpera. Dan Menpera sendiri, banyak ide dan terobosan yang brilian. Tapi kalau tidak didukung staf dan kementerian lain, jadi sulit.

Seperti FLPP, terobosan yang brilian, semua pihak diuntungkan Tapi kalau aturan lain tidak mendukung, ya susah juga.

Ada rencana pemerintah mendukung kepemilikan orang asing. Dan ada yang khawatir terjadi bubble. Menurut Anda? Kemenpera mendukung orang asing boleh miliki properti di Indonesia. Tapi tak bisa hanya Menpera. Tidak bisa berjalan dengan sempurna karena tak didkung, misalnya masalah pajak. Sinkronisasi kepemilikan asing itu dengan BPN. Kalau tidak sinkron, ya tidak bisa.   Di Indonesia kan ada pembatasan minimal harga? Orang asing hanya boleh membeli properti minimal seharga 150.000 USD. Jadi tidak mungkin pasar properti orang asing, bagaimana bisa mempengaruhi properti murah. Rakyat menengah bawah kan nggak mungkin membeli properti seharga Rp 1,4 miliar. Ini pasar terbatas. Pasar properti menengah bawah tidak akan terpengaruh. Pasar domestik jumlahnya jutaan unit, sedangkan pasar orang asing, jika jumlahnya 10.000 unit, itu sudah luar biasa.

Menurut saya, orang awam hanya memahami satu kalimat: “orang asing boleh beli properti di Indonesia”. Padahal aturannya banyak. Harga minimal 150.000 USD. Jadi mengapa harus khawatir?

Properti untuk orang asing tidak bersaing pada tataran yang sam dengan properti masyarakat menengah bawah. Contoh, jumlah hotel bintang lima seperti Grand Hyatt ada seribu. Apakah hotel-hotel bintang lima sperti Grand Hyatt mempengaruhi hotel-hotel bintang tiga dan bintang dua, melati sehingga jadi kosong? Kan pasarnya beda-beda? Jadi masyarakat tak perlu khawatir. Segmennya tidak sama.

Harga properti Indonesia dengan Singapura, 1:11. Tapi kok orang Indonesia banyak yang beli di Singapura, Australia, Hong Kong, Los Angeles? Mengapa mesti takut?

Jadi kekhawatiran terjadinya bubble terlalu berlebihan. Pasar domestik di Indonesia sangat besar dibandingkan pasar asing. Yang laris kan apartemen Rp 500-600 juta yang laris, yang di bawah Rp 1 miliar. ***

Sumber : www.properti.kompas.com/Teguh.Satria.Kebijakan.Perumahan.Tidak.Didukung.Menkeu
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya  :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar