Selasa, 11 Mei 2010

Hanya Miring di Bawah 1 Derajat, Kok DPR Heboh?


Oleh Yuni Ikawati

Pengukuran kemiringan gedung di Jakarta telah dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya miring. Namun, apakah kemiringannya masih dalam batas wajar?

Pengukuran struktur gedung di Jakarta pertama kali dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2002. Hasilnya, gedung berlantai 21 yang dibangun pada 1974 itu miring 1 derajat ke arah timur atau ke Jalan MH Thamrin di depannya.

Penelitian itu terkait dengan penetapannya sebagai gedung percontohan oleh (dahulu) Departemen Pekerjaan Umum untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 yang mengatur keamanan konstruksi serta keselamatan—antara lain kelengkapan sistem pemadam kebakaran, kenyamanan, dan kemudahan akses. "Jika gedung ini belum memenuhi persyaratan, akan dilakukan perancangan ulang dan perbaikan," ujar Pariatmono Sukamdo, pakar konstruksi dari BPPT.

Gedung I BPPT sebelumnya milik Advanced Technology Pertamina. Penyerahan kepada BPPT dilakukan tahun 1978 bertepatan dengan berdirinya badan riset itu. Selain Gedung I BPPT, Gedung DPR juga termasuk proyek percontohan (sekarang) Kementerian PU. Dalam pengukuran juga diketahui miring. Ini dikuatkan dengan hasil pengukuran Tim Kelompok Kerja Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menggunakan electronic total station yang terdiri dari teodolit elektronis dipadukan dengan pengukur jarak elektronis.

Tim yang terdiri dari Heri Andreas, Irwan Gumilar, dan M Gamal, Selasa (4/5), mengungkapkan, Gedung DPR miring sekitar 7,5 menit atau 0,12 derajat. Hasil ini jauh dari isu sebelumnya, yaitu miring sebesar 8 derajat. Ini diungkapkan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Kerja Geodesi ITB.

Menurut Pariatmono, kini Asisten Deputi Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kementerian Riset dan Teknologi, kemiringan dua gedung di bawah 1 derajat masih dalam batas wajar atau tidak sampai mengganggu kenyamanan penggunanya.

Kemiringan itu merupakan dampak proses konsolidasi lapisan tanah dalam yang menerima tingkat pembebanan yang relatif tinggi.

Derajat kemiringan berbeda karena kondisi lapisan tanah dalam yang berbeda. Kemiringan Gedung BPPT lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR. Penurunan tanah di BPPT yang berada di wilayah tengah Jakarta lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR yang berada di selatan. Kawasan BPPT dan sekitarnya terdiri dari batuan muda atau endapan sungai yang tengah mengalami proses konsolidasi.

Berdasarkan data pengukuran Dinas Pengembangan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, penurunan permukaan tanah di kawasan pusat Jakarta 60-80 cm, sedangkan di kawasan selatan sekitar 40 cm.

Penurunan ini diakibatkan volume pengambilan air tanah hingga lapisan akuifer yang dilakukan terus-menerus tanpa ada pengisian kembali. Semakin ke utara, tingkat eksploitasi air tanahnya semakin tinggi.

Berkurangnya air tanah itulah yang menyebabkan penurunan tanah yang lingkupnya kawasan. Menurut peneliti BPPT, Samsuhadi Samoen, penurunan muka tanah di Jakarta antara satu kawasan dan yang lain tidak merata.

Penurunan tanah di Jakarta yang terdiri dari tanah endapan diikuti oleh intrusi atau perembesan air laut dari utara yang terus bergerak masuk ke darat. Intrusi di kawasan selatan, menurut Samsuhadi, susah terdeteksi karena bercampur dengan air purba yang juga asin yang meluas hingga ke Bogor.

Pengukuran kondisi
Peraturan berwujud UU No 28/2002 mengharuskan setiap pengelola gedung bertingkat di Indonesia memeriksa kondisi gedung terhadap empat aspek tersebut.

Untuk itu, perlu ada dokumentasi gambar teknis struktur dari setiap gedung. Di Jakarta, yang paling pesat pembangunan gedung-gedung tingginya, hingga kini belum memiliki sistem informasi bangunan (building information system) yang menyimpan semua data tersebut.

Pariatmono, yang juga Kepala Pusat Informasi Riset Bencana Alam, menegaskan, informasi ini penting untuk simulasi dan skenario kebencanaan, terutama ketahanan gedung, terhadap gempa. Ketiadaan dokumen ini mempersulit pemecahan masalah dan perbaikan gedung.

Menurut Hari Sasongko, Ketua Badan Pengawasan Pembangunan DKI Jakarta, dokumen teknis setiap bangunan yang mendapat izin mendirikan bangunan di Jakarta sebenarnya tersimpan di Dinas Arsip DKI.

Dokumen itu meliputi gambar konstruksi struktur bawah dan atas, desain arsitektur, serta instalasi di dalam bangunan yang terdiri dari kelistrikan dan perpipaan serta akses transportasi di dalam gedung. Di DKI kini ada lebih dari 700 gedung di atas delapan lantai. Kelayakan bangunan di DKI diperiksa pengkaji teknis setiap lima tahun. Gedung pemerintah diperiksa Kementerian PU.

Audit bangunan
Berdasarkan UU No 28/2002, lanjut Pariatmono, semua gedung seharusnya diaudit untuk standardisasi. Kini belum ada perusahaan yang menangani audit prasarana gedung.

Hal lain yang harus dilengkapi adalah peta zonasi untuk gempa skala mikro. Dari kajian, diketahui daerah yang terbanyak korbannya adalah sekitar Jakarta Utara. Selain itu, pembuatan rute darurat juga diprioritaskan di Jakarta Pusat, lokasi pusat pemerintahan.

Untuk itu, perlu skenario akses mencapai daerah itu dalam periode emas, yaitu 1-2 jam. Jalur evakuasi perlu ditentukan dan diamankan. Jalur tersebut harus diperkuat agar tetap berfungsi pascabencana.

Pemasangan akselerometer di gedung-gedung bertingkat diperlukan untuk mengetahui kinerja gedung terhadap beban dinamis, termasuk gempa.

Jika ada akselerometer, dapat diketahui perilaku dinamis gedung, apakah sama atau tidak dengan analisis dinamis seperti yang telah dilakukan sebelum gedung dibangun. Hingga kini, sayangnya belum ada panduan cara memasang akselerometer di gedung tinggi. Pemasangan akselerometer di Gedung BPPT oleh Kementerian Riset dan Teknologi, antara lain, ditujukan untuk membuat panduan semacam itu, ujar Pariatmono. (KOMPAS Cetak)
YUN
Editor: ksp

Sumber : http://properti.kompas.com/read/xml/2010/05/10/08535897/hanya.miring.di.bawah.1.derajat.kok.dpr.heboh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar