Jumat, 16 September 2011

Membangun Harmoni di Kota



"Anda ingin mencoba sepeda ini?" tanya Ron Steward ketika saya mengamati sepedanya sampai lima menit. "Cobalah pakai, daripada dikau hanya terpesona saja," ujar official di Washington DC ini sambil terbahak, baru-baru ini.

Saya kemudian mengendarai sepedanya. Wah, enak betul. Memacu belasan kayuhan dengan tenaga penuh, sepeda sudah meluncur seratus meter. Kayuhan terasa ringan tetapi sepeda melaju cepat, seolah tidak hirau dengan berat badan yang duduk di atas sadel sepeda.

Ron menemani sambil bercakap-cakap tentang Kota Washington DC yang sangat menjaga harmoni antara manusia dengan alam. Kami menyusuri jalan-jalan Washington DC yang sebagian di antaranya datar. Kami menghindari beberapa jalan yang naik turunnya lumayan menukik, untuk menjaga stamina. Maklum, kereta tua mesti pintar menyimpan energi.

Kami berkeliling, di antaranya melewati gedung Watergate, Gedung Putih, Gedung Capitol, Dupont Circle, dan berhenti tepat di depan gedung Washington Post. Pada sore hari, gedung berwarna cokelat itu tampak senyap. Lalu lintas di seberang kantornya lengang.

Saya merasakan kenyamanan luar biasa ketika bersepeda di Ibu Kota negeri adidaya ini. Panas sudah tidak menyengat, karena musim panas sedang menuju awal musim gugur. Tak lama lagi dingin akan terasa dan daun-daun perlahan akan menguning, kecokelatan, kemerahan, dan perlahan pohon-pohon akan tiada henti meluruhkan daun-daunnya hingga gundul. Yang lolos dari penggundulan massal tersebut hanya beberapa jenis, di antaranya pohon pinus.

Lalu lintas di Washington, seperti lazimnya lalu lintas di negara-negara industri, sangat tertib. Para pesepeda tidak takut dihardik dengan klakson mobil. Mereka tidak takut diseruduk sepeda motor sebagaimana tampak di DKI Jakarta. Para pesepeda di sini melaju dengan nyaman, meluncur damai bersama mobil-mobil mewah di jalan raya. Terasa seperti ada "dirigen" yang mengatur lalu lintas itu, sehingga semuanya serba mengalir, tertib, dan elegan.

Sesekali terlihat para pesepeda iseng menggunakan lebarnya trotoar kota untuk melaju ke kawasan tertentu. Saya tidak heran kalau banyak eksekutif Amerika Serikat (AS), perempuan atau lelaki, suka naik sepeda. Polusi tidak mengganggu, tubuh tidak terlampau keringetan, pemandangan di kiri-kanan jalan sangat memesona.

Gedung-gedung di ibu kota AS ini memang umumnya terdiri dari enam sampai dua belas lantai. Namun, karena terawat dan arsitekturnya menawan, pemandangan yang melekat di mata menjadi fantastik.

Taman kota, juga patung-patung yang tegak di banyak tempat, sedap dipandang mata. Mungkin, karena suasana yang nyaman, udara tidak polutif, perempuan yang bersepeda umumnya mengenakan celana pendek. Rok dan blazer juga terlihat dikenakan. Para lelaki mengenakan sepatu kulit, pakaian lengan panjang atau jas beserta dasinya.

Soal mau atau tidak

Tidak adil rasanya kalau membandingkan kenyamanan bersepeda di Washington DC, atau Chicago, atau New York, atau Los Angeles, dengan DKI Jakarta atau Surabaya dan Makassar. Situasi, iklim, dan kondisi lalu lintasnya sangat berseda. Disiplin para pengguna jalan di sana sangat tinggi, tidak bisa dibandingkan gaya berkendara warga di DKI Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Pun, tingkat polusi di kota-kota di Indonesia kini makin tinggi, dan makin memuakkan. Bukan kesehatan yang diperoleh dari bersepeda, tetapi potensi gangguan kebersihan paru-paru.

Akan tetapi, pemegang otoritas kota-kota di Indonesia seyogianya menempuh kebijakan yang antipolusi tinggi. Peraturan dihadirkan untuk membekuk pengendara yang sesukanya membuang polusi yang mengancam jiwa manusia.

Ini soal mau atau tidak mau, konsisten pada keberpihakan lingkungan bersih atau tidak. Kota-kota di Indonesia akan mudah melakukan hal ini, apabila kepala pemerintahannya mempunyai tekad baja menghadirkan lalu lintas yang tertib, tingkat polusi yang dapat ditoleransi, serta jalur khusus pesepeda.

Ini sungguh soal komitmen, kemampuan mewujudkan gagasan di lapangan, serta kompetensi melahirkan inovasi dan kreasi. Menata lalu lintas, membangun infrastruktur, melahirkan peraturan tentang polusi hanyalah bagian kecil dari tugas pemegang otoritas kota. Ini "mudah" dilakukan, kalau pemerintah memiliki kompetensi, kesungguhan bekerja, dan nyali.

Sumber : www.properti.kompas.com/Membangun.Harmoni.di.Kota

Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya  :-)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar