Rabu, 06 April 2011

Tempat Pulang yang Merdeka

          

           Pelukis Suprobo berupaya lepas dari hiruk-pikuk kota yang bingar. Ia ingin membangun tempat pulang yang merdeka, jauh dari jamahan keramaian. Keinginan itu ditegaskan Suprobo sejak ia membangun rumah pada tahun 1994 di Pondok Petir, Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Ayah empat anak itu bercerita di sela sayup rekaman tetabuhan gamelan Jawa yang diputarnya.

”Kota penuh dengan beton dan kaca. Saat lelah, saya ingin merasa pulang, pulang ke rumah yang tidak memiliki beton dan kaca. Saya ingin rumah seperti di desa saya,” ujar lelaki kelahiran Desa Payak, Kecamatan Cluwak, Pati, 10 Februari 1958, itu.

Setelah belasan tahun mengontrak dan menumpang di rumah saudara di Jakarta, tahun 1993 Suprobo membeli tanah seluas 1.023 meter persegi di salah satu puncak bukit di Pondok Petir. ”Saat itu saya sudah terilhami rumah kartunis Om Pasikom, GM Sudarta, di Joglo, Ciledug. Kompleks rumah beliau terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi berbeda-beda dan dihiasi banyak benda kuno dan antik,” kata Suprobo, yang juga pernah menjadi ilustrator dan perancang grafis sejumlah majalah.

Tahun 1993, ia membeli gebyok atau dinding rumah joglo khas Pati. Pada 1994, kemudian ia membeli dua rumah joglo lurah di Jepara. Salah satunya adalah pendopo lurah Desa Watuaji di Kecamatan Keling, yang konon berumur ratusan tahun. Rumah joglo khas Jepara itu memiliki pendopo buntu yang disebut dodo peksi. Rumah joglo itu menjadi bangunan pertama di rumah Suprobo.

Uniknya, saat membangun rumah pertamanya, Suprobo ”mengoplos” dua joglo Jepara dan gebyok joglo Pati. Pendopo joglo ber-dodo peksi
menjadi pendopo utama rumah tinggal yang ditinggali keluarga Suprobo sejak 1995, namun kini tinggal menjadi ruang keluarga yang dipenuhi belasan dipan jati kuno dan aneka perkakas tua, seperti lampu sentir, peti tua, panggung sinden, juga aneka perabot kuno.

Kulit pendopo itu memakai gebyok joglo Pati. Beberapa gebyok dalam kedua joglo Jepara terpakai menjadi sekat pembagi ruangan. Tiap sisi rumah memiliki pintu.
”Ada ahli Feng Sui menyatakan rumah saya menyalahi prinsip Feng Sui karena keempat pintu itu. Saya tidak ambil pusing karena saya lebih memilih untuk merasa merdeka dan bebas di rumah sendiri,” kata Suprobo.

Beranda Di depan joglo ”gado-gado” itu, Suprobo membangun beranda berpanggung, yang kini kerap menjadi tempat menjamu tamu. ”Terus ini saya peruntukkan bagi kemerdekaan tamu saya. Mau memilih duduk di mana saja silakan, di dalam rumah, atau di teras. Mau selonjor, bersila, terserah. Mau merokok pun silakan, karena berandanya memang ruang terbuka. Di sudut kiri-kanan bagian depan rumah masing-masing ada dua kendi air. Orang di desa selalu menyediakan kendi di depan rumah agar bisa diminum orang yang kebetulan lewat,” ujar Suprobo.

Untuk dapurnya, Suprobo mendirikan sebuah rumah limasan di belakang joglo itu. Dinding dapurnya tidak diplester, memperlihatkan batu bata merah yang membuat rumah mungil yang tampil senada dengan joglo sebagai bangunan utama. Sebuah selasar menyambung dapur dengan bagian belakang joglo, dengan sebuah meja dan dua bangku panjang di tengahnya.

Setandan pisang digantung di atas meja, juga kaleng kerupuk menjadikan selasar itu bak warung ”tempo doeloe”. ”Saya dulu hidup dari warung ke warung dan memang senang jajan, ngobrol di warung. Itu kenapa saya membuat dapur dengan suasana seperti warung,” katanya, ”Mau jagongan, kaki nangkring di atas bangku, tidak mengapa. Merdekalah pokoknya,” kata Suprobo.

Impiannya untuk memiliki kompleks rumah pribadi dilengkapi studio melukis dan galeri pribadi terwujud tahun 1996. Di belakang rumah joglo, ia membangun lagi rumah limasan berdinding kayu, yang kini menjadi rumah tinggal Suprobo dan istrinya, Sunarmi. Di sebelah barat rumah pribadi itu, juga dibangun rumah limasan berdinding kayu yang menjadi tempat tinggal empat anak-anak mereka, menjadi satu-satunya rumah berinterior modern.

Studio dan galeri
 
Studio lukis Suprobo dirakit dari sisa rumah joglo Jeparanya, menjadi sebuah rumah panggung dua lantai. Studio itu menjadi rumah gado-gado, mirip rumah panggung Lampung, dengan banyak ornamen Jawa. ”Rumah itu memang tidak berpakem ke mana-mana, itu murni kreasi saya,” katanya.

Galeri pribadi pun dirancang sendiri oleh Suprobo, tanpa dinding samping karena atap limasannya sangat rendah, nyaris menyentuh tanah. Dinding depannya yang berbentuk segitiga adalah kombinasi kayu jati dan mozaik kaca yang didominasi bentuk segitiga, menyerupai potongan intan yang berwarna lembut.

Di belakang galeri yang interiornya tengah dipugar itu, Suprobo membuat teras kecil tempat ia menumpuk segala perkakas bengkelnya. Di bengkel kecil itulah ia mengutak-atik mobil Volkswagen (VW) tua, yang kerap diburunya. Ada sejumlah VW yang terparkir di sela rerindangan pohon di kompleks yang luasnya berkisar 7.000 meter persegi.

Museum pribadi yang menggenapi Prasada Suprobo terbangun tahun 2000, setelah ia membeli tanah dan bangunan mangkrak persis di barat kompleks rumah Suprobo. Bangunan terbengkalai itu dimodifikasi agar rumah modern itu senapas dengan bangunan lainnya. Di museum itu ia menyimpan puluhan lukisan karyanya sejak tahun 1977, gamelan, seperangkat alat musik keroncong, juga sepeda motor tua. Salah satu mobil proklamator Bung Hatta terparkir di lantai bawah museum.


Sumber : http://properti.kompas.com/read/2011/04/06/07262829/Tempat.Pulang.yang.Merdeka
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya  :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar