Rabu, 20 Juni 2012

Kita, di Tengah Miskinnya Ruang Terbuka Hijau...



Kian berkurangnya areal resapan air dan ruang terbuka hijau (RTH) di kota-kota besar, khususnya Jakarta, selalu mengakibatkan genangan air, bahkan banjir parah. Banjir selalu datang, meskipun curah hujan deras berdurasi tak terlalu lama.

Hujan deras yang mengguyur Jakarta beberapa waktu lalu, misalnya, mengakibatan ratusan rumah warga di dua rukun warga di Kelurahan Susukan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, tergenang setinggi 60 cm. Air menggenangi permukiman setelah hujan deras mengguyur Ibu Kota selama lebih dari satu jam.

Perumahan di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, pun kembali terendam air setinggi satu meter. Air menggenang setelah hujan deras turun hanya sekitar satu jam.

Di Tangerang, hujan deras juga mengakibatkan sejumlah ruas jalan tergenang air. Di kawasan Cileduk, misalnya, ratusan sepeda motor mogok akibat terjebak banjir setinggi lutut orang dewasa.

Data LIPI menyebutkan, Jakarta berada pada posisi utara Pulau Jawa, terletak di dataran rendah di ketinggian 8 meter dari permukaan laut sehingga sering kali dilanda banjir. Penyebab banjir karena di selatan Jakarta terdapat daerah pegunungan (Bogor) dengan curah hujan relatif tinggi. Air akan mengalir dan mencari dataran rendah sehingga hampir semua air hujan dari selatan akan mengalir ke 13 sungai yang ada di Jakarta.

Ekologis yang sudah sangat parah juga terjadi di sekeliling Jakarta. Dampak negatif dari pesatnya pembangunan di Jakarta adalah penyedotan air tanah secara tidak terkendali oleh hotel, gedung perkantoran, mal, dan sebagainya. Sementara areal terbuka hijau (daerah resapan air hujan) di Jakarta makin lama, makin berkurang, sehingga curah hujan di kawasan ini yang mencapai dua miliar m3 setiap tahunnya, hanya terserap 36 persen saja, sebagian terbuang ke jalan beraspal, selokan, dan sungai.

Berdasarkan rencana induk tata ruang Jakarta tahun 1965-1985 ruang terbuka hijau (RTH) masih berkisar 37,2 persen atau sekitar 241,8 km2 dari keseluruhan luas Jakarta. Dalam kurun waktu hanya 15 tahun, RTH tinggal 13,94 persen atau 96,6 km2 dari keseluruhan luas Jakarta 661.52 km2.

Batasan ideal

Pengamat lingkungan, Trisno Widodo, mengatakan bahwa idealnya sebuah kota mempunyai RTH sekitar 40 persen dari seluruh luas wilayah. Bila ditinjau dari segi hidrologis, RTH sangat penting untuk menunjang peresapan air hujan ke dalam tanah. Dengan cara ini, kata dia, diharapkan suplesi air tanah, khususnya air tanah dangkal oleh air hujan, semakin bertambah sehingga kekurangan akan air dapat dihindari. Hal ini sekaligus juga dapat mengurangi penyusupan air laut, apabila suplesi air hujan ke dalam tanah seimbang dengan eksploitasi air tanah tersebut.

Namun, bagi kota-kota besar di Indonesia, untuk memperluas areal resapan hujan dengan menambah ruang terbuka hijau sangat sulit. Hal tersebut disebabkan tata guna lahan yang selalu berubah-ubah.

"Ada kecenderungan, cepat berkurangnya areal terbuka ini karena adanya fasilitas umum, industri, perubahan peruntukan lahan, dan lainnya," kata Trisno.

Salah satu cara untuk menggantikan daerah resapan air, menurut dia, adalah dengan sumur-sumur resapan buatan di setiap rumah tangga atau bangunan tempat tinggal. Sebenarnya, pemerintah pusat dan daerah telah berupaya mengatasi permasalahan krisis air tanah ini, antara lain dengan membatasi pemberian rekomendasi teknis dan penerbitan izin pemakaian atau izin usaha air tanah. Di beberapa kota besar malah diberlakukan pajak air tanah bagi kalangan industri dan komersial.

Upaya lain adalah melakukan konservasi air tanah, baik secara alamiah berupa penghijauan atau lebih populer dengan istilah go green, maupun dengan cara pengisian buatan berupa pembuatan sumur resapan, lubang biopori, serta drainase berpori. Nyatanya, hingga saat ini hasilnya belum maksimal.

Untuk mengatasi degradasi sumber daya air tanah, salah satu upaya telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain Yogyakarta, Bogor, Depok, serta Gorontalo, adalah dengan membangun waduk resapan. Fungsi utama waduk resapan ini adalah sebagai media resapan agar air permukaan dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam lapisan akuifer.

Model waduk ini cocok diterapkan pada daerah perkotaan sebab hanya membutuhkan luas lahan berkisar antara satu hingga enam hektar. Hanya saja, syaratnya, lahan tersebut harus memiliki lapisan tanah atau batuan dengan daya resap tinggi.

Menurut Teddi W Sudinda, mantan Ketua Tim Proyek Pengembangan Waduk Resapan Kementerian Ristek, filosofi dasar dalam pengembangan waduk resapan adalah mengurangi debit air yang mengalir di permukaan tanah dan meningkatkan cadangan air bawah tanah. Pembuatan waduk resapan berbeda dengan pembuatan waduk pada umumnya. Sebab, dasar waduk dihubungkan langsung dengan lapisan akuifer.

Adapun maksud pembuatan waduk resapan hampir sama dengan sumur resapan. Hanya saja, waduk resapan memiliki luasan berbeda.

Pada hakikatnya, sumur resapan dan waduk resapan sama-sama berfungsi mengendalikan banjir serta meningkatkan jumlah air tanah dengan cara menurunkan limpasan permukaan dan meningkatkan infiltrasi/perkolasi.

Hasil studi Kementerian Riset dan Teknologi memperlihatkan, teknologi waduk resapan mampu mengatasi dampak krisis air tanah berupa banjir dan kekeringan sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota untuk menelaah lebih jauh penerapannya agar banjir dan kekeringan setiap tahun dapat teratasi.


Sumber : www.properti.kompas.com/Kita.di.Tengah.Miskinnya.Ruang.Terbuka.Hijau.

Cari rumah Propertykita ahlinya...!!

Cari rumah dijual  yang aman nyaman asri dan siap huni..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar